Selasa, 10 September 2013

Hukum Qurban untuk Almarhum

 



1. Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama, namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup.

  Contohnya, seseorang menyembelih seekor qurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan qurban Nabi SAW untuk dirinya dan ahli baitnya (keluarganya), dan di antara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits dari Aisyah, beliau berkata, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai qurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), 'Wahai Aisyah, bawakan pisau', kemudian beliau SAW berkata: 'Tajamkanlah dengan batu'. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi SAW mengambil pisau tersebut dan mengambil domba, menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan: 'Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad,' lemudian menyembelihnya” [HR. Muslim].
    
     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Diperbolehkan menyembelih qurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [Majmu Al-Fatawa (23/164)]. Dengan demikian, seseorang yang menyembelih qurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuklah semua ahli bait yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat maupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya.

2. Menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan orang yang sudah meninggal itu telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum meninggalnya.

Dalam kondisi yang kedua ini maka para ahli warisnya wajib menunaikannya walaupun diri mereka belum pernah melakukan penyembelihan kurban untuk diri mereka sendiri. Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”'Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat berwasiat'. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikanlah untuknya'” (HR. Abu Daud).
Disebutkan dalam kitab ‘Al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad bin Ubadah pergi menemui Nabi SAW dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.”
Kandungan dari hadits itu adalah menunaikan hak-hak yang wajib terhadap orang yang sudah meninggal dan jumhur ulama berpendapat bahwa siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan nazar harta maka wajib ditunaikan dari pokok harta yang dimilikinya jika ia tidak berwasiat kecuali jika nazar itu terjadi di saat sakit menjelang kematiannya maka dari sepertiga hartanya. Sementara para ulama madzhab Maliki dan Hanafi mensyaratkan orang itu berwasiat (Nailul Author juz XIII hal 287 – 288, Maktabah Syamilah).

Penyembelihan hewan qurban bisa menjadi wajib dikarenakan nazar, sebagaimana hadits Rasulullah saw, ”Barangsiapa yang telah bernazar untuk menaati Allah maka hendaklah ia menaati Allah” (HR. Bukhori Muslim). Dan juga firman Allah, ”Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka” (QS. Al Hajj: 29). Bahkan apabila orang yang melakukan nazar itu meninggal dunia, maka pelaksanaan nazar yang telah diucapkan sebelum meninggal dunia boleh diwakilkan kepada orang lain.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa daging sembelihan yang disebabkan melaksanakan nazar tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban sama sekali, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i yang berbeda dengan pendapat para ulama madzhab Hambali bahwa disunnahkan memakan sembelihan darinya, yaitu sepertiga dimakan, sepertiga dibagikan kepada karib kerabat dan sepertiga disedekahkan (Fatawa al Azhar juz IX hal 313, Maktabah Syamilah)


3. Menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal, bukan sebagai wasiat dan juga tidak ikut kepada yang hidup, yang ditujukan sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, sebagian ulama menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Para ulama Hanafi dan Hambali berpendapat, diperbolehkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal, seakan-akan orang itu berqurban untuk orang yang masih hidup seperti halnya bershodaqoh dan memakannya sedangkan pahalanya bagi si mayat (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 - 2744).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : “Diperbolehkan menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih qurban dan yang lainnya di kuburan” [Majmu Al-Fatawa (26/306)].
Kedua, sebagian ulama menyatakan tidak diperbolehkan. Tidak ada riwayat bahasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau saw . Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang berqurban untuk orang lain tanpa seizinnya, tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak mewasiatkannya berdasarkan firman Allah swt: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39) .

Dan jika orang yang sudah meninggal itu mewasiatkannya maka diperbolehkan, hal itu karena wasiatnya. Kemudian seluruh (sembelihannya itu) wajib disedekahkan untuk orang-orang miskin. Para ulama Maliki berpendapat makruh bagi seseorang berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika orang itu tidak menyebutkan (meniatkannya) sebelum kematiannya, dan jika ia meniatkannya namun bukan nadzar maka disunnahkan bagi para ahli warisnya untuk melaksanakannya (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 - 2744).

Demikianlah penjelasan yang dapat disampaikan mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a'lam bi ash-shawab


Tidak ada komentar: