1. Orang yang meninggal
bukan sebagai sasaran qurban utama, namun statusnya mengikuti qurban
keluarganya yang masih hidup.
Contohnya, seseorang
menyembelih seekor qurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup
dan yang telah meninggal. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan qurban
Nabi SAW untuk dirinya dan ahli baitnya (keluarganya), dan di antara mereka ada
yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits dari Aisyah,
beliau berkata, yang artinya: “Sesungguhnya
Rasulullah SAW meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih
sebagai qurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), 'Wahai Aisyah, bawakan
pisau', kemudian beliau SAW berkata: 'Tajamkanlah dengan batu'. Lalu ia
melakukannya. Kemudian Nabi SAW mengambil pisau tersebut dan mengambil domba,
menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan: 'Bismillah, wahai Allah!
Terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad,' lemudian
menyembelihnya” [HR. Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah berkata: “Diperbolehkan
menyembelih qurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya,
anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat”
[Majmu Al-Fatawa (23/164)]. Dengan demikian, seseorang yang menyembelih qurban
seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat
diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup
atau yang telah meninggal. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum,
maka masuklah semua ahli bait yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik
secara adat maupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang
yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut
bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan
kakek bapaknya.
2. Menyembelih qurban
untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan orang yang sudah meninggal itu
telah bernazar atau berwasiat untuk melakukan qurban sebelum meninggalnya.
Dalam kondisi yang kedua ini maka para ahli warisnya wajib
menunaikannya walaupun diri mereka belum pernah melakukan penyembelihan kurban
untuk diri mereka sendiri. Ada riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad
bin Ubadah meninta fatwa kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”'Sesungguhnya
ibuku telah meninggal dan ia masih memiliki tanggungan nazar namun tidak sempat
berwasiat'. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikanlah untuknya'” (HR. Abu
Daud).
Disebutkan dalam kitab ‘Al Muwattho’ dan selainnya bahwa Sa’ad
bin Ubadah pergi menemui Nabi SAW dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya ibuku
berwasiat, beliau (ibuku) mengatakan, ’Hartanya harta Saad dan dia meninggal
sebelum menunaikannya.’ Kemudian Sa’ad mengatakan, ’Wahai Rasulullah apakah
jika aku bersedekah baginya akan bermanfaat untuknya? Beliau saw menjawab. ’Ya.”
Kandungan dari hadits itu adalah menunaikan hak-hak yang wajib
terhadap orang yang sudah meninggal dan jumhur ulama berpendapat bahwa siapa
yang meninggal dan masih memiliki tanggungan nazar harta maka wajib ditunaikan
dari pokok harta yang dimilikinya jika ia tidak berwasiat kecuali jika nazar
itu terjadi di saat sakit menjelang kematiannya maka dari sepertiga hartanya.
Sementara para ulama madzhab Maliki dan Hanafi mensyaratkan orang itu berwasiat
(Nailul Author juz XIII hal 287 – 288, Maktabah Syamilah).
Penyembelihan hewan qurban bisa menjadi wajib dikarenakan nazar,
sebagaimana hadits Rasulullah saw, ”Barangsiapa
yang telah bernazar untuk menaati Allah maka hendaklah ia menaati Allah”
(HR. Bukhori Muslim). Dan juga firman Allah, ”Dan hendaklah mereka menyempurnakan
nazar-nazar mereka” (QS. Al Hajj: 29). Bahkan apabila orang yang
melakukan nazar itu meninggal dunia, maka pelaksanaan nazar yang telah diucapkan
sebelum meninggal dunia boleh diwakilkan kepada orang lain.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa daging sembelihan yang disebabkan
melaksanakan nazar tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban sama sekali,
sebagaimana pendapat para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i yang berbeda dengan
pendapat para ulama madzhab Hambali bahwa disunnahkan memakan sembelihan
darinya, yaitu sepertiga dimakan, sepertiga dibagikan kepada karib kerabat dan
sepertiga disedekahkan (Fatawa al Azhar juz IX hal 313, Maktabah Syamilah)
3. Menyembelih qurban bagi
orang yang sudah meninggal, bukan sebagai wasiat dan juga tidak ikut kepada
yang hidup, yang ditujukan sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, sebagian
ulama menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai
kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (Fatwa Majlis Ulama Saudi no.
1474 & 1765). Para ulama Hanafi dan Hambali berpendapat, diperbolehkan
berqurban untuk orang yang sudah meninggal, seakan-akan orang itu berqurban
untuk orang yang masih hidup seperti halnya bershodaqoh dan memakannya
sedangkan pahalanya bagi si mayat (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV
hal.2743 - 2744).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : “Diperbolehkan
menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan
haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan
tidak disembelih qurban dan yang lainnya di kuburan” [Majmu
Al-Fatawa (26/306)].
Kedua, sebagian ulama menyatakan tidak diperbolehkan. Tidak ada
riwayat bahasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat
beliau lainnya yang mendahului beliau saw . Para ulama Syafi’i berpendapat
bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang berqurban untuk orang lain tanpa
seizinnya, tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak
mewasiatkannya berdasarkan firman Allah swt: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An Najm : 39)
.
Dan jika orang yang sudah meninggal itu mewasiatkannya maka
diperbolehkan, hal itu karena wasiatnya. Kemudian seluruh (sembelihannya itu)
wajib disedekahkan untuk orang-orang miskin. Para ulama Maliki berpendapat
makruh bagi seseorang berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jika
orang itu tidak menyebutkan (meniatkannya) sebelum kematiannya, dan jika ia
meniatkannya namun bukan nadzar maka disunnahkan bagi para ahli warisnya untuk
melaksanakannya (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV hal.2743 - 2744).
Demikianlah penjelasan yang dapat disampaikan mudah-mudahan
bermanfaat. Wallahu a'lam bi ash-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar